Friday, February 13, 2009

Tenaga Kerja

Kesempatan kerja sektor pertanian selama periode 1995-2000 meningkat 0,51%/tahun. Pada tahun 2000, posisinya tetap dominan (45,28%) dengan status pekerjaan berburuh tani meliputi 5,38 juta orang. Permasalahan tenaga kerja pertanian mencakup produktivitas, daya beli, dan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Tulisan ini membahas perkembangan struktur kesempatan kerja dan tingkat upah serta dampaknya terhadap produksi padi, struktur pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani dan buruh tani di pedesaan. Terdapat indikasi kelangkaan tenaga kerja dan kenaikan tingkat upah absolut, namun kenaikan upah riil berjalan lambat. Elastisitas tenaga kerja terhadap produksi relatif tinggi (0,13) dan tingkat upah berdampak negatif inelastis terhadap penawaran dan keuntungan usaha tani padi. Sumber pendapatan dominan rumah tangga buruh tani adalah kegiatan berburuh dan nonpertanian dengan proporsi 68,10%. Implikasinya adalah kelangkaan dan kenaikan tingkat upah perlu dikendalikan dan perbaikan kesejahteraan buruh tani perlu dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan
komprehensif. Produktivitas dan kesejahteraan buruh tani dapat ditingkatkan melalui pengembangan kelembagaan mekanisasi pertanian, agribisnis dan agroindustri, serta perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian.

Kompleksitas ekonomi tenaga kerja pertanian mencakup dimensi yang luas. Penurunan peran relative sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang relatif cepat tidak diikuti oleh akselerasi yang sama pada aspek kesempatan kerja sehingga produktivitas tenaga kerja pertanian menurun. Perkembangan tingkat upah sektor pertanian pun tidak berjalan selaras dengan kenaikan harga kebutuhan pokok sehingga berimplikasi negatif terhadap daya beli dan kesejahteraan buruh tani Rendahnya pendapatan buruh tani juga tidak terlepas dari rendahnya partisipasi dan aksesibilitas buruh tani terhadap kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Pada tahun 2000, kesempatan kerja sektor pertanian menempati posisi dominan dengan proporsi 45,28% dari total kesempatan kerja yang mencapai 89,84 juta orang. Menurut status pekerjaan, kesempatan kerja berburuh (karyawan) mencapai 32,83% atau sebesar 29,49 juta orang. Kesempatan kerja berburuh di sektor pertanian mencapai 5,38 juta orang atau 13,23% dari total kesempatan kerja sektor pertanian yang besarnya 40,68 juta orang (Badan Pusat Statistik 2001). Upaya memperbaiki tingkat upah dan kesejahteraan buruh tani menghadapi permasalahan yang kompleks (Sumaryanto dan Rusastra 2000) yaitu: 1) permintaan tenaga kerja di sektor pertanian bersifat fluktuatif dan musiman, 2) penggunaan tenaga per unit luasan usaha tani cenderung menurun karena berkembangnya
mekanisasi pertanian (traktor), aplikasi herbisida, dan maksimisasi penggunaan tenaga kerja dalam
keluarga, 3) adanya indikasi penurunan upah riil, daya beli dan kesejahteraan buruh tani, 4) sulitnya mengimplementasikan instrumen kebijakan karena posisi buruh tani yang bersifat dilematis, yaitu sebagai pemasok dan sekaligus juga pengguna tenaga kerja pertanian, dan 5) strategi perbaikan kesejahteraan dan tingkat upah melalui upaya tidak langsung seperti peningkatan intensitas garapan dan
kesempatan kerja nonpertanian. Tulisan ini menyajikan perkembangan kesempatan kerja menurut sektor utama dan status pekerjaan serta perkembangan tingkat upah sektor pertanian dengan basis data agregat dan data Panel Petani Nasional (Patanas) di enam propinsi penelitian. Di bahas pula dinamika dampak penggunaan tenaga kerja dan tingkat upah terhadap penawaran dan produksi usaha tani padi, struktur kesempatan kerja dan tingkat pendapatan rumah tangga buruh tani, serta nilai tukar petani dan
kesejahteraan buruh tani di pedesaan.

PERKEMBANGAN
KESEMPATAN KERJA
NASIONAL DAN SEKTOR
PERTANIAN
Dalam periode 1995–2000, total kesempatan kerja nasional meningkat 1,94%/ tahun, dari 80,11 juta menjadi 89,84 juta orang. Sektor pertanian memberikan sumbangan dominan dengan peningkatan
proporsi dari 43,98% menjadi 45,28%, dan tumbuh dengan laju 0,51%/tahun. Kesempatan kerja di sektor perdagangan tumbuh dengan laju terbesar (2,75%/ tahun), serta proporsi penyerapan tenaga kerja menempati posisi kedua terbesar dengan pangsa 20,58% terhadap kesempatan kerja nasional yang mencapai 89,84 juta jiwa. Dengan mengacu pada sumbangan sektor pertanian pada PDB nasional tahun 2000 yang besarnya 16%, tampak adanya disparitas produktivitas tenaga kerja antara sektor pertanian dan nonpertanian (Badan Pusat Statistik 2001). Dibandingkan dengan pertumbuhan kesempatan kerja nasional yang mencapai 1,94%/tahun, pertumbuhan kesempatan kerja di enam propinsi wilayah penelitian Patanas yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan berkisar antara 1,59%/tahun (Jawa Tengah) dan 3,28%/tahun di Sulawesi Selatan (Tabel 1). Di luar Jawa (kecuali NTB), laju pertumbuhan kesempatan kerja agregat melebihi laju pertumbuhan nasional, tetapi laju kesempatan kerja pertanian mengalami penurunan 0,07%/tahun (Sulawesi Selatan) sampai dengan 2,63%/tahun (Lampung). Andalan pertumbuhan kesempatan kerja di Jawa adalah sektor pertanian, sedangkan di luar Jawa mulai bergeser ke sektor industri, perdagangan dan jasa dengan besarnya kontribusi yang bervariasi antardaerah. Dibutuhkan fasilitasi kebijakan yang memungkinkan terjadinya mobilisasi tenaga kerja yang lebih cepat ke luar Jawa. Di enam propinsi penelitian Patanas, sektor pertanian masih tetap merupakan penyumbang kesempatan kerja terbesar (khususnya di luar Jawa), dengan kisaran 41,10% (Jawa Tengah) sampai dengan 59,42% di Lampung (Tabel 1). Penyumbang kesempatan kerja kedua terbesar adalah sektor perdagangan dengan kisaran 14,32% (Lampung) sampai dengan 20,08% (Jawa Tengah). Di Jawa, posisi berikutnya adalah sektor industri dan jasa, namun sebaliknya untuk luar Jawa. Di luar Jawa, sektor jasa menempati posisi ketiga dengan kisaran 10,98% (Lampung) sampai dengan 15,06% (Sulawesi Selatan). Kisaran sumbangan sektor industri adalah 5,39% (Sulawesi Selatan) sampai dengan 11,29% (NTB). Dengan demikian, fase pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan oleh peran masing-masing sektor secara spasial menunjukkan perbedaan sehingga strategi dan fokus kebijakan pembangunan pun berbeda. Dalam jangka pendek, peran sektor industri belum dapat diharapkan mengingat masih lemahnya dukungan stabilitas politik, keamanan, dan penegakan hukum. Proporsi kesempatan kerja nasional menurut status pekerjaan dalam periode 19952000 menunjukkan bahwa status sebagai buruh/karyawan menempati posisi dominan, diikuti oleh kategori berusaha sendiri, berusaha dibantu anggota keluarga/buruh tidak tetap, pekerja keluarga, dan terakhir adalah berusaha dengan buruh tetap (Badan Pusat Statistik 2001). Tampak bahwa bidang kewirausahaan masih perlu pembinaan dan dukungan fasilitasi kebijakan untuk mendorong partisipasi dan kesempatan berusaha bagi masyarakat luas. Implikasi lainnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan buruh dan karyawan memegang peranan sentral. Walaupun kesempatan kerja berburuh mengalami penurunan 1,52%/tahun, posisinya pada tahun 2000 tetap dominan (32,83%), dan diyakini dalam satu dekade ke depan akan tetap memegang peranan penting dalam ekonomi ketenagakerjaan nasional. Di sektor pertanian, status pekerjaan berburuh menempati posisi keempat setelah kategori berusaha dibantu anggota keluarga/buruh tidak tetap, pekerja keluarga, dan berusaha sendiri (Tabel 2). Seperti halnya pada kesempatan kerja agregat nasional, dalam sektor pertanian, kategori status pekerjaan berusaha dengan buruh tetap menempati peringkat terakhir. Selama periode 19952000, posisi status pekerjaan berburuh di sektor pertanian relatif stagnan yang proporsinya pada tahun 2000 mencapai 13,23% (5,38 juta orang) dari total kesempatan kerja sektor pertanian sekitar 40,68 juta orang. Secara relatif terhadap total kesempatan
kerja berburuh, proporsi berburuh di sektor pertanian menempati peringkat ketiga setelah sektor jasa dan industri (Tabel 3), sedangkan sektor perdagangan menempati posisi keempat dari empat sektor utama pembangunan nasional. Pada tahun 2000, pangsa kesempatan kerja berburuh di sektor jasa, industri, pertanian, dan perdagangan berturut-turut adalah 27,18%, 25,70%, 18,24%, dan 10,64%. Selama periode
19952000, kesempatan kerja berburuh di sektor pertanian meningkat dengan laju 1,84%/tahun, dari 4,92 juta orang tahun 1995 menjadi 5,38 juta orang tahun 2000, atau 18,24% dari total kesempatan kerja berburuh yang mencapai 29,50 juta orang. Laju pertumbuhan ini dinilai cukup tinggi dibandingkan dengan laju kesempatan kerja total berburuh yang hanya 0,45%/tahun. Tampaknya sektor pertanian masih tetap merupakan sumber kesempatan kerja berburuh yang potensial dalam kondisi melemahnya daya tampung sektor jasa dan sektor ekonomi lainnya yang mengalami penurunan penyerapan masing-masing 2,84% dan 2,47%.

PERKEMBANGAN TINGKAT
UPAH SEKTOR PERTANIAN
Deskripsi tingkat upah absolut menurut jenis kegiatan di enam propinsi pada tahun 19902001 menunjukkan bahwa: 1) tingkat upah berbeda antarwilayah, yaitu terendah di Jawa Tengah dan tertinggi di Sulawesi Utara, 2) tingkat upah meningkat secara konsisten untuk seluruh jenis kegiatan selama tiga segmen waktu analisis, 3) kecuali di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, terdapat disparitas tingkat upah di mana tingkat upah mencangkul lebih tinggi dibandingkan dengan upah memanen dan menyiang (Badan Pusat Statistik 1996a; 2002a). Informasi di atas sedikitnya mengindikasikan dua hal, yaitu adanya keterkaitan antara kelangkaan tenaga kerja dan tingkat upah, serta terjadinya diskriminasi tingkat upah.
Perbedaan tingkat upah secara spasial menunjukkan adanya kelangkaan dan berfungsinya pasar tenaga kerja. Hal ini dinilai positif bagi tenaga kerja buruh tani. Perbedaan tingkat upah mencangkul dengan upah menyiang/menanam menunjukkan adanya diskriminasi tingkat upah, di mana kegiatan pertama dilakukan tenaga kerja pria dan yang terakhir oleh tenaga kerja wanita. Menurut Pasandaran et al. (1990), jam kerja menanam lebih lama 31% daripada mencangkul, sehingga disparitas upah per jam kerja antara menanam dan mencangkul menjadi makin melebar. Perkembangan indeks upah absolute secara spasial dan jenis kegiatan mengilustrasikan akselerasi atau konvergensi tingkat upah (Badan Pusat Statistik 2001). Pada wilayah yang memungkinkan terjadinya mobilitas tenaga kerja antarwilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa
Timur, konvergensi tingkat upah tidak terjadi. Pada jenis kegiatan yang sama, Jawa Tengah dengan tingkat upah awal (tahun 1990) lebih rendah, tidak memiliki perkembangan indeks upah yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur. Bila dibandingkan antara Jawa Tengah (upah awal terendah)
dan Sulawesi Utara (tingkat upah tertinggi), peningkatan indeks upah di Sulawesi Utara berlangsung lebih cepat yang merefleksikan dampak dari kelangkaan tenaga kerja di wilayah tersebut. Kecuali di NTB, indeks upah menanam meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kegiatan mencangkul, yang mengindikasikan adanya konvergensi tingkat upah antara dua jenis kegiatan ini dan juga menurunnya diskriminasi tingkat upah. Hal ini berimplikasi pada perbaikan dan pemerataan tingkat kesejahteraan buruh tani serta meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Perkembangan tingkat upah absolute dan riil menurut jenis kegiatan disajikan pada Tabel 4. Jawa Tengah dengan tingkat upah absolut yang lebih rendah dari
Jawa Timur ternyata memiliki laju pertumbuhan tingkat upah yang lebih tinggi. Namun, pertumbuhan tingkat upah riil lebih baik, terutama pada periode 1998-2000. Sulawesi Utara dengan tingkat upah absolut tertinggi memiliki laju pertumbuhan tingkat upah yang juga lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya, kecuali Lampung dan Sulawesi Selatan, khususnya dalam empat tahun terakhir. Jawa dan NTB dengan surplus tenaga kerja yang relatif tinggi mengalami tekanan dalam peningkatan tingkat upah, sementara daerah lainnya mengalami laju peningkatan upah yang relative tinggi. Pada seluruh wilayah dan jenis kegiatan, secara konsisten laju pertumbuhan upah riil lebih rendah daripada upah absolut. Tampak bahwa harga kebutuhan pokok masyarakat meningkat lebih cepat daripada tingkat upah sehingga daya beli buruh tani juga semakin rendah. Data tingkat upah usaha tani padi di desa penelitian Patanas umumnya menunjukkan pola yang serupa dengan data Badan Pusat Statistik (Tabel 5). Luar Jawa dengan tingkat kelangkaan tenaga kerja yang lebih besar memiliki tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua propinsi di Jawa. Jawa juga memiliki laju pertumbuhan tingkat upah yang lebih rendah sehingga makin memperbesar disparitas tingkat upah secara spasial. Kegiatan mencangkul tetap memiliki tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan menanam dan menyiang, sepanjang waktu untuk seluruh wilayah. Pertumbuhan upah riil relative rendah pada seluruh wilayah dan jenis kegiatan, yang merefleksikan kurangnya akselerasi peningkatan daya beli tenaga kerja buruh tani pada usaha tani padi.
Kecuali di Lampung dan NTB, laju peningkatan upah menanam dan menyiang lebih tinggi dibandingkan dengan upah mencangkul sehingga diharapkan disparitas dan diskriminasi tingkat upah antarkegiatan dan gender semakin membaik.



RESPONS TINGKAT UPAH
TERHADAP PENAWARAN
Melalui pendekatan analisis kebijakan dilakukan ulasan dan sintesis secara mendalam terhadap dampak tingkat upah/ tenaga kerja terhadap tingkat keuntungan, penawaran, dan produksi usaha tani padi pada berbagai wilayah di Indonesia (Tabel 6). Peningkatan tingkat upah umumnya berdampak negatif terhadap keuntungan usaha tani dengan kisaran elastisitas 0,13 0,19. Penurunan keuntungan lebih besar pada usaha tani padi di lahan sawah dibandingkan dengan di lahan kering, dengan elastisitas tingkat upah terhadap keuntungan (Ep) -0,15 vs. -0,13. Peningkatan upah tenaga kerja ternak juga berdampak negatif terhadap keuntungan dengan Ep -0,04 dan bersifat nyata pada taraf kepercayaan 1% (= 1%). Namun, Wardana et al. (2001) melaporkan bahwa tingkat upah justru meningkatkan keuntungan usaha tani padi dengan Ep 0,21 pada musim hujan dan 0,03 pada musim kemarau. Tingkat upah yang lebih baik (tambahan insentif) akan menstimulasi efektivitas pemanfaatan tenaga kerja sehingga produktivitas usaha tani padi meningkat. Dampak peningkatan tingkat upah terhadap penawaran usaha tani padi menunjukkan respons yang inelastis, dengan kisaran dampak penurunan terhadap penawaran sebesar 0,210,33% untuk setiap 1% peningkatan tingkat upah. Tidak terdapat perbedaan elastisitas penawaran (Es) antara usaha tani padi d lahan kering dan di lahan sawah, dengan elastisitas penawaran -0,20 vs -0,21. Respons peningkatan tingkat upah tenaga kerja ternak terhadap penawaran relative rendah dengan elastisitas -0,04 (Rachman 1986). Pada usaha tani padi lahan sawah, kisaran elastisitas tenaga kerja adalah 0,120,14, sedangkan untuk lahan kering nilainya sedikit lebih rendah yaitu 0,11 (Hutabarat 1988; Rusastra 1995). Dibandingkan dengan faktor produksi lainnya, tenaga kerja dinilai yang terpenting (elastisitas 0,12), disusul oleh pupuk (0,04), bibit (0,02), dan pestisida dengan nilai elastisitas 0,01. Hasil ini sesuai dengan kondisi di lapangan, di mana usaha tani padi bersifat padat tenaga kerja. Aplikasi teknologi varietas unggul, pupuk, dan irigasi dapat mendorong aplikasi tenaga kerja (labor-using technologies). Urutan kontribusi faktor produksi terhadap keluaran seperti tersebut di atas dinilai konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia atau di negara lain, di mana tenaga kerja dan lahan merupakan faktor produksi yang terpenting, diikuti oleh pupuk atau modal (Yotopoulus et al. 1976; Sidhu dan Baanante 1979; Sugianto 1982; Erwidodo 1990).

PARTISIPASI DAN
STRUKTUR PENDAPATAN
BURUH TANI
Dalam periode 19951999, kegiatan rumah tangga usaha tani padi makin bervariasi, di mana peran kegiatan nonpertanian mengalami peningkatan. Peningkatan partisipasi rumah tangga pada kegiatan nonpertanian cukup menonjol di Jawa Timur, Lampung, NTB, dan Sulawesi Selatan, dengan kisaran laju peningkatan sebesar 8,06%/tahun (NTB) sampai dengan 121,43%/tahun (Lampung). Bagi rumah tangga dengan kegiatan berburuh, partisipasi tertinggi adalah pada sektor pertanian. Kecuali di Lampung dan NTB, partisipasi kegiatan berburuh di sektor pertanian mengalami peningkatan dengan kisaran 4,31%/tahun (Sulawesi Selatan) sampai dengan 11,32%/tahun (Sulawesi Utara) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian 1996). Dalam kondisi krisis ekonomi yang belum pulih sampai saat ini, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan kesempatan kerja bagi masyarakat. Sektor pertanian menjadi katup pengaman dan sekaligus menjadi beban karena akan semakin berdampak terhadap penurunan produktivitas tenaga kerja pertanian. Secara absolut, pendapatan rumah tangga buruh tani yang terendah adalah di NTB (Rp788.454/tahun) dan tertinggi di Sulawesi Selatan (Rp2.167.835) pada tahun 1995 (Tabel 7). Kisaran proporsi pendapatan berburuh di sektor pertanian adalah 12% (Sulawesi Utara) sampai 45% (Jawa Tengah). Sumber pendapatan berburuh dari sektor pertanian yang cukup menonjol adalah di Jawa Timur (28%) dan Jawa Tengah (10%), sedangkan di luar Jawa umumnya di bawah 10%.
Rumah tangga buruh tani juga terlibat pada kegiatan pertanian dan nonpertanian dengan proporsi kegiatan pertanian berkisar dari 13% (Jawa Timur) hingga 46% (Lampung). Pangsa kegiatan nonpertanian yang cukup menonjol adalah di Sulawesi dan Jawa Timur, sementara di daerah lainnya di bawah 20%. Rumah tangga buruh tani umumnya adalah petani berlahan sempit atau petani penyakap sehingga andalan sumber pendapatan utama adalah dari kegiatan nonpertanian dan berburuh. Oleh karena itu, perbaikan sistem sakap, tingkat upah, dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian akan memegang peranan penting dalam peningkatan pendapatan rumah tangga buruh tani. Sumber pendapatan utama selain dari kegiatan pertanian (usaha tani padi) dan berburuh (pertanian dan nonpertanian)relatif terbatas. Sumber pendapatan dari subsektor peternakan dan perikanan hampir tidak ada. Kegiatan nonpertanian yang cukup menonjol adalah perdagangan, sedangkan kegiatan industri hanya ada di Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan. Kegiatan jasa terdapat di semua propinsi dengan kisaran 3% (Lampung) sampai 24% di Sulawesi Utara (Patanas P/SE). Secara absolut, total pendapatan berburuh yang cukup menonjol adalah di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah dengan nilai masing-masing Rp1.001.000, Rp987.100, dan Rp858.400 pada tahun 1995 (Tabel 8). Di propinsi lainnya, nilainya di bawah Rp500.000/ rumah tangga buruh tani/tahun. Sumber pendapatan berburuh dari sektor pertanian menempati posisi dominan dengan kisaran proporsi 56,50% (Jawa Timur) sampai 94,60% (Sulawesi Selatan). Dalam upaya meningkatkan pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja pertanian, persoalan yang paling sulit adalah mendorong tenaga kerja keluar dari sektor pertanian primer. Upaya yang dinilai strategis adalah mengembangkan agroindustri melalui pendekatan agropolitan. Dengan pendekatan tersebut, petani dapat mengakses kegiatan agroindustri tanpa harus kehilangan kesempatan kerja di sektor pertanian atau sebagai tenaga kerja paruh waktu. Pengembangan agroindustri diharapkan akan meningkatkan respons permintaan produk pertanian terhadap perubahan pendapatan sehingga nilai tukar petani makin membaik.

NILAI TUKAR DAN
KESEJAHTERAAN BURUH
TANI
Nilai tukar petani (NTP) dan kesejahteraan buruh tani memiliki keterkaitan yang nkuat. Secara hipotetis, normatif kesejahteraan petani akan ditransmisikan dalam bentuk perbaikan taraf hidup buruh tani. Pembahasan NTP dan faktor pembentuknya menggunakan data Patanas, sementara kinerja dan perspektif kesejahteraan buruh tani menggunakan pendekatan analisis kebijakan berdasarkan ulasan dan sintesis penelitian kebijakan yang ada. Analisis perkembangan NTP dan faktor pembentuknya di enam propinsi Patanas selama periode 19922001 memberikan gambaran (Tabel 9) sebagai berikut: Di Lampung, rataan NTP adalah 83,52 dengan kisaran 71,80–95,60, cenderung fluktuatif dan menurun. Pada tahun 2001, NTP relatif rendah (81,40) terutama disebabkan oleh meningkatnya indeks harga konsumsi rumah tangga petani.
Di Jawa Tengah, rataan NTP adalah 99,63, dengan kisaran 90,50–104,80, cenderung stabil dan sedikit meningkat. Pada tahun 2001, NTP di Jawa Tengah mencapai 103,60 yang mengindikasikan indeks harga yang diterima petani secara relatif lebih baik, terutama indeks harga tanaman pangan dan perkebunan. Di Jawa Timur, rataan NTP selama periode 19922001 mencapai 105,30, dengan kisaran 93,40115,30, dan
meningkat secara konsisten. Pada tahun 2001, NTP relatif tinggi (115,30) karena adanya perbaikan indeks harga yang diterima petani, khususnya untuk komoditas tanaman pangan. Di NTB, rataan NTP mencapai 109,10, dengan kisaran 84,60–148,10, cenderung fluktuatif dan menurun. Pada tahun 2001, NTP di NTB mencapai 86 yang mengindikasikan penurunan daya beli petani karena meningkatnya indeks harga yang dibayar petani untuk kedua komponen utamanya, yaitu biaya produksi dan konsumsi rumah tangga petani.
Di Sulawesi Utara, rataan NTP mencapai 115,90, dengan kisaran 83,50– 225,80, dan cenderung meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Pada tahun 2001, NTP di Sulawesi Utara mencapai angka tertinggi
(225,80) yang menunjukkan daya beli petani relatif tinggi, khususnya terhadap barang-barang untuk mendukung kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga. Hal ini terutama disebabkan oleh indeks harga komoditas perkebunan. Di Sulawesi Selatan, rataan NTP selama periode 19922001 mencapai
110,80, dengan kisaran 101,20 – 125,20 dan cenderung menurun. Pada tahun 2001, NTP di Sulawesi Selatan mencapai 107,20, yakni mendekati nilai rataan dengan posisi daya beli yang memadai. Hal ini juga disebabka oleh meningkatnya indeks harga yang diterima petani, khususnya untuk komoditas perkebunan. Perkembangan nilai tukar pekerja (buruh tani) pada tahun 1985, 1989, dan 1995, dengan memanfaatkan dua basis data indeks upah yang disusun BPS dan Patanas, memberikan informasi yang menarik (Djauhari et al. 2000). Bila berpedoman pada indeks upah BPS, nilai tukar pekerja di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam periode 19851989 mengalami penurunan, namun pada periode selanjutnya meningkat. Sebaliknya dalam tujuh tahun berikutnya (19891995), nilai tukar pekerja berkembang cukup pesat yang disebabkan oleh meningkatnya indeks upah yang cukup besar relative terhadap harga barang-barang konsumsi.
Pemerintah berperan penting dalam pengendalian harga pangan yang terjangkau masyarakat luas. Dalam situasi krisis yang diindikasikan oleh pemutusan hubungan kerja atau semakin terbatasnya kesempatan kerja, kelangkaan dan peningkatan harga kebutuhan pokok masyarakat akan menurunkan tingkat
kesejahteraan buruh tani. Hasil perhitungan nilai tukar pekerja versi Patanas menunjukkan perkembangan yang berbeda. Pada periode 19851989, nilai tukar meningkat dan pada periode selanjutnya (19891995)
menurun. Walaupun demikian, perhitungan nilai tukar pekerja untuk kedua versi ini (BPS dan Patanas) tidak berbeda nyata, kecuali untuk tahun 1995. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan cakupan pengumpulan data upah, serta penetapan pembobotan perolehan pendapatan dari upah sektor pertanian dan kegiatan di luar pertanian. Namun, secara umum selama periode 19851995 kesejahteraan pekerja di wilayah pedesaan Barat dan Jawa Timur relative meningkat. Perkembangan tingkat upah yang cukup pesat di Jawa Timur mengakibatkan nilai tukar pekerja (buruh tani) lebih baik dibandingkan dengan di Jawa Barat. Dalam upaya mempertahankan kesejahteraan petani dan pekerja perlu terus diupayakan peningkatan bagian harga yang diterima petani dan pengendalian harga barang konsumsi dan sarana produksi pada tingkat harga yang wajar.

KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Sektor pertanian masih tetap merupakan sumber kesempatan kerja dan berburuh tani yang potensial. Upaya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan buruh tani perlu terus dilakukan antara lain melalui perbaikan sistem sakap dan pengupahan, mobilitas dan informasi tenaga kerja, serta pengembangan agroindustri dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Tingkat upah bergantung pada penawaran tenaga kerja, perkembangan mekanisasi pertanian, dan pertumbuhan kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Walaupun indeks upah absolute meningkat, harga kebutuhan pokok meningkat lebih cepat sehingga laju pertumbuhan upah riil menjadi sangat lambat. Pengembangan infrastruktur, pendidikan
dan pembinaan keterampilan tenaga kerja (khususnya wanita) sangat penting agar mereka dapat bekerja secara mandiri dan posisi tawarnya meningkat. Perbaikan infrastruktur perlu dikomplemenkan dengan pembenahan struktur dan efisiensi pemasaran sehingga daya beli petani dan buruh tani dapat ditingkatkan. Tingkat upah berdampak negative inelastis terhadap keuntungan dan penawaran pada usaha tani padi. Elastisitas tenaga kerja terhadap produksi padi adalah yang tertinggi (0,13) dibandingkan faktor produksi lainnya (< 0,04). Kontribusi tenaga kerja dinilai menentukan kinerja usaha tani padi yang bersifat padat tenaga kerja. Kelangkaan tenaga kerja dan peningkatan upah secara tidak terkendali perlu dicegah. Sumber pendapatan dominan buruh tani adalah berburuh (pertanian) dan kegiatan nonpertanian. Proporsi pendapatan berburuh tani adalah 78,60% dari total pendapatan berburuh, sedangkan total pendapatan berburuh adalah 44,80% dari pendapatan keluarga. Sumbangan pendapatan dari kegiatan nonpertanian mencapai 23,30%. Keberhasilan dalam mempertahankan tingkat upah yang wajar dan membangun kesempatan dan aksesibilitas kegiatan di luar pertanian memegang peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan buruh tani. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tani, perlu diupayakan peningkatan bagian harga yang diterima petani dan pengendalian harga barang konsumsi dan sarana produksi. Bagi rumah tangga buruh tani, di samping perlu mempertahankan tingkat upah yang wajar, juga diperlukan upaya yang bersifat inklusif dan integratif dalam peningkatan kesejahteraannya.

1 comment:

  1. mirip sama jurnal ekonomi tenaga kerja rusastra dan suryadi.

    ReplyDelete