Friday, February 13, 2009

POLA SPASIAL WILAYAH BANJIR DAN TINGKAT KESULITAN EVAKUASI
DI KELURAHAN PETOGOGAN DAN KELURAHAN PELA MAMPANG
JAKARTA SELATAN

Latar Belakang

Banjir merupakan fenomena alam dan masalah yang ditimbulkan tidak dapat diatasi atau dikendalikan secara mutlak (Siswoko,2002). Dalam sistem sungai, banjir merupakan cara alami bagi sistem tersebut untuk menyalurkan jumlah air yang berlebih pada hujan besar yang turun sewaktu–waktu. Hal ini bukan merupakan masalah hingga manusia kemudian memanfaatkan dataran banjir alami tersebut bagi kepentingannya serta melindungi dirinya dari banjir. Kita lalu menghadapi dilema yaitu perlindungan melawan bencana alam bagi kepentingan manusia yang memilih untuk tinggal dan hidup di dataran daratan banjir (Kent,1994). Pada umumnya banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi diatas normal, sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak sungai alamiah serta sistem saluran drainase dan kanal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu menampung akumulasi air hujan tersebut sehingga air sungai meluap menggenangi wilayah sekitarnya. Kemampuan/ daya tampung sistem pengaliran air dimaksud tidak selamanya sama, akan tetapi berubah akibat proses sedimentasi, penyempitan sungai akibat fenomena alam dan ulah manusia, tersumbat sampah serta hambatan lainnya. Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area) menyebabkan peningkatan debit banjir karena debit/ pasokan air yang masuk ke dalam sistem aliran menjadi tinggi sehingga melampaui kapasitas pengaliran dan menjadi pemicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Disamping itu berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi atas meningkatnya debit banjir. Pada daerah permukiman dimana telah padat dengan bangunan sehingga tingkat resapan air kedalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi sebagian besar air akan menjadi aliran air permukaan yang langsung masuk ke dalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya terlampaui dan mengakibatkan banjir (Prih, 2005). Permasalahan mengenai bencana banjir di Jakarta bermula ketika penduduk Jakarta mengalami keterbatasan lahan untuk tempat tinggal, akibat dari pertumbuhan penduduk, ditambah arus urbanisasi yang menyebabkan wilayah yang secara alami merupakan dataran banjir (flood plain) dibangun menjadi tempat tinggal, yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi langganan banjir tiap tahunnya. Keadaan ini sangat bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 63 Pasal 6 Tahun 1993 tentang garis sempadan sungai, yang menyatakan garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul, sedangkan garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 10–20 meter.
Dahulu istilah pengendalian banjir diartikan hanya membuat bangunan pengelak, penahan, memperlancar aliran dan bangunan peredam banjir, maka sekarang pengertian banjir lebih berpusat kepada kegiatan mengurangi kerugian (flood mitigation) dengan banyak pilihan, bukan hanya lewat penyelesaian teknis semata (Seohoed, 2002)Untuk itu, diperlukan suatu data spasial yang bisa digunakan dalam pengambilan keputusan mengenai mitigasi banjir. Dalam hal ini sistem informasi geografi merupakan suatu perangkat yang bisa mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, dan mengkorelasikan data spatial dari fenomena geografis untuk di analisis dan hasilnya dikomunikasikan kepada pemakai data, bagi keperluan pengambilan keputusan (Gunawan, 1995 dalam Supriatna, 2005). Permasalahan mengenai bencana banjir di Jakarta bermula ketika penduduk Jakarta mengalami keterbatasan lahan untuk tempat tinggal, akibat dari pertumbuhan penduduk, ditambah arus urbanisasi yang menyebabkan wilayah yang secara alami merupakan dataran banjir (flood plain) dibangun menjadi tempat tinggal, yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi langganan banjir tiap tahunnya. Keadaan ini sangat bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 63 Pasal 6 Tahun 1993 tentang garis sempadan sungai, yang menyatakan garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul, sedangkan garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 10–20 meter.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pola spasial wilayah banjir di Kelurahan Petogogan dan Kelurahan Pela Mampang pada kejadian banjir 2007. Dari hasil penelitian ini akan didapatkan infomasi keruangan yaitu; peta wilayah banjir, peta lama genangan, peta ketinggian genangan, peta kepadatan bangunan, peta jaringan jalan, jumlah bangunan yang tergenang dan jumlah korban banjir.

Masalah
1. Bagaimana pola spasial wilayah banjir di Kelurahan Petogogan dan Kelurahan Pela Mampang pada kejadian banjir tahun
2007 ?
2. Bagaimana tingkat kesulitan evakuasi pada kejadian banjir tahun 2007 ?

Metodologi Penelitian
Variabel yang digunakan untuk pola spatial wilayah banjir dalam penelitian ini adalah :
1. Kerapatan Bangunan (bangunan/ha)
2. Wilayah banjir (m²)
3. Ketinggian genangan (cm)
4. Lama genangan (hari)
5. Jumlah korban banjir (jiwa)
6. Lebar jalan (m)
Data Yang Digunakan
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperlihatkan pada Tabel 1.





Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :
1. Kerapatan bangunan
2. Wilayah banjir
3. Ketinggian genangan
4. Lama genangan
5. Lebar jalan

1.5. Analisis



Untuk menjawab permasalahan pertama, digunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan keruangan, dengan mendeskripsikan pola spasial wilayah banjir berdasarkan masing-masing variabel, yaitu : kerapatan bangunan, luas wilayah banjir, ketinggian genangan banjir, lama genangan banjir dan lebar jalan.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, dilakukan metode pembobotan (skoring) dengan Analisis Hirarki Proses (AHP) untuk menetukan tingkat kesulitan evakuasi.





1 comment: